UWI UWI

Ambulance uwi uwi
Rakyat marah rah rah
Pemerintah batasi si si

Vaksin berampul pul pul
Masker berkotak tak tak
Ambulance masih uwi uwi

Pemerintah dinilai abai bai bai
Rakyat mencoba lalai lai lai
Ambulance tetap uwi uwi

Jenazah dikuburkan
Tangis disuarakan
Berbentur mesra dengan imbauan
Yang disahut kencang pengakuan kemiskinan
Ambulance masih uwi uwi

Saat ambulance uwi uwi
Ada suara ini konspirasi
Tenaga kesehatan meregang nyawa di ujung mati
Kebijakan mulai diakali

Oksigen habis
Uang habis
Tempat tidur habis
Ambulance makin uwi uwi

Sayup di ujung seberang ada yang berdamai
Menonton bola sambil berkspresi
Sementara kita masih uwi uwi bersama pandemi

Aku Lelah Namun Tetap Berjalan

Lengang kota adalah dindingku

Hiruk pikuk kebahagiaan mereka adalah warnanya

Kenangan lalu soal kebersamaan menjadi atapku

Kenyataan melambungnya ongkos pulang jadi penyusunnya 

Terik matahari yang sama selalu siap menyapa pagi untuk mengingatkanku

Jauh dari peluk ibu

Sekarat berat merindukan hangat sebuah keluarga

Aku masih terantuk rutinitas sama

Merajut tumpukan cerita untuk dia yang tak pernah bangga

Namun masih tetap kucoba sambil berderai luka

Masih berusaha mencari nilai lebih untuknya

Yang berkeras untuk hidup berlandaskan senyum kembang para tetangga

RINDU YANG MENGGANGGU

Dulu kau sebut itu rindu
Tapi sekarang saat kopiku membiru
Kau juluki ini ganggu
Baiklah tak apa aku mengerti
Kau hanya terlalu takut untuk menatapku lagi
Atau jangan jangan kau yang harus pahami
Kalau aku masih menyimpanmu dalam hati

Surabaya Kota Tak Ramah Gigs

Kalau Jogja katanya bisa bikin rindu, kalau Surabaya yaa jelas bikin kemeringet, bukan cuma gara – gara suhunya yang emang aduhai tapi karena juga aroma panas dari masyarakatnya. Terkenal berkat berbondo kenekatan dalam setiap aspek kehidupannya, Surabaya yang dikenal dengan kota pahlwan, juga terkenal sebagai kota bonek. Ya boleh dibilang, semua masyarakat Surabaya adalah Bonek, tapi mungkin kata semua itu belum bisa mewakili para penikmat musiknya.

Kota yang katanya ibu kotanya rock ini, bagaikan jadi ibu tiri kalau udah menyangkut penikmat musik. Kalau hidupmu cukup senggang coba datang ke gigs music di Surabaya, liat dan amati apa yang dilakukan para penontonnya. Kalau harapanmu adalah crowd yang sing along, kamu bakal kecewa. Kalau harapanmu adalah crowd yang liar dan ekspresif, kamu juga bakal dijamin kecewa.

Crowd di Surabaya layaknya patung dewan juri di ajang sebuah pencarian bakat. Diam, tegang , dan dilengkapi dengan tangan yang selalu dilipat. Jangankan nyanyi bareng, manthuk – manthuk menikmati musikpun jadi pemandangan yang jarang kamu temui di gigs Surabaya.

Entah penampilnya yang bermasalah atau memang ini adalah ciri khas dari penikmat musik Surabaya. Yang jelas peristiwa tadi gak cuma kamu temui di gigs skala kecil, pun yang besar dan dilengkapi dengan line up mentereng, situasinya juga gak berbeda jauh. Mungkin ini adalah salah satu faktor kenapa banyak musisi Surabaya yang justru berusaha mentas dari kota ini. “Sudah bayaran gak seberapa minim apresiasi pula” jadi satu ungkapan yang mungkin sering terdengar dari lubuk hati mereka yang bergabung sebagai jamaah musisi indie.

Buat penyelenggara event sendiri, menghadirkan satu gigs di Surabaya jelas merupakan tantangan besar. Sangat jarang kita bisa melihat suguhan artis internasional yang mainstream menggelar konsernya di Surabaya, selain memang karena keterbatasan tempat, tingkah polah penonton yang adem ayem aja jelas jadi salah satu faktor lainnya. Saya seringkali iseng dan bertanya kepada sebagian kecil pelaku musik, atau event. Kenapa Surabaya susah banget sih buat digerakin. Jawaban mereka beragam, walaupun untuk amannya jelas edukasi terlambat soal apresiasi menjadi pilihan jawaban.

Bagaikan mimpi di siang bolong rasanya kalau ingin menjadikan sebuah gigs musik sebagai bagian dari lifestyle masyarakat Surabaya.  Boro-boro lifestyle kadang datang ke gigs saja kita suka datang dengan ala kadarnya, jauh dari tendensi untuk menyesuaikan dengan venue, tema acara, atau minimal dengan penampil.

Mungkin pendapat di atas bakal ditentang oleh jamaah folkiyah, yang sejauh ini paling bisa menampilkan musik di playlist mereka dengan apa yang mereka pakai. Ah tapi anak-anak metal, punk, ska juga bisa menampilkan musik mereka dengan outfitnya, jadi yaa mungkin paragraf di atas terlalu dipaksakan. Tapi jelas satu hal yang pasti gigs bukanlah salah satu pilihan lifestyle buat masyarakat Surabaya.

Satu hal yang mungkin menambah daftar kemirisan saya, sudah gigsnya sepi yang datang muka itu-itu aja, sangat jarang bisa melihat muka baru yang mau datang buat menikmati suguhan musisi lokal. Ada semacam gengsi berkelanjutan sepertinya, atau mungkin pikiran sederhana, kalau bukan temenku yang main aku gak mau liat, jadi salah satu alasan kenapa awan mendung ini masih dan bakal terus menaungi gigs di Surabaya.

Jadi para pelaku musik harus memulai dari lingkungan terdekat dulu, baru kemudian bisa meluncur untuk mencoba nyali tampil dihadapan crowd terhormat yang boleh jadi lebih serem dari seorang Simon Cowell. Atau dalam tahapan yang lebih ekstrem mereka bisa mencoba langsung terjun dan merasakan kejamnya rimba penonton yang pelan dan menghanyutkan.

Untung-untung bisa bertahan dan menempa mental, dalam skala yang lebih kejam banyak yang kukut mendadak akibat merasa kurangnya apresiasi, atau malah menjadi apatis sambil mengubur mimpi buat jadi tuan rumah di kota sendiri.

Mungkin semua di atas hanya terasa sebagai keluh kesah tanpa solusi, atau sekedar sambatan dari orang yang kalian rasa jarang datang ke gigs, namun suka atau tidak hal ini bakal terus terjadi entah sampai kapan. Jawaban terbaiknya jelas sampai kita semua mau sedikit memberikan apresiasi untuk mereka-mereka yang memang sudah memilih musik sebagai jalan hidup yang dijalaninya.

AKU INGIN PULANG

Lengang kota adalah dindingku
Hiruk pikuk kebahagiaan mereka adalah warnanya
Kenangan lalu soal kebersamaan adalah atapku
Kenyataan melambungnya ongkos pulang jadi penyusunnya
Terik matahari yang sama adalah sapaan pagiku
Jauh dari peluk ibu
Sekarat berat merindukan hangat sebuah keluarga
Aku masih terantuk rutinitas sama
Hanya untuk secarik nilai lebih demi senyum kembang para mereka

Khotbah Jumat

Jangan bermain dengan imanmu
Begitu nyaring raungan surauku siang itu
Terik jumat menguras dahaga
Menipiskan lantunan amin sampai ujungnya
Godaan setan tampak semarak meriah
Minumlah sebelum pulang
Tak apa, Tuhan sedang alpa
Lekaslah, tinggalkan sajadahmu

Tidak aku tidak mau dosa
Aku mau beriman dan pulang masuk surga
Sengau terakhir batas imanku

Surga terus surga terus
Apa istimewanya surga
Kalau kau hanya ingin bidadari
Di nerakapun ada sahutnya

Aku tidak ingin bidadari
Dan sebetulnya aku juga tidak terlalu ingin surga
Aku hanya ingin pulang ke hati yang bisa kusebut rumah
Pulang menuju peraduan tenang
Diantar mesra dengan senyuman
Dikenang lekat sebagai kebaikan

Mengapa Viral?

Teduhnya menipu
Perlahan menyaru kemudian melagu
Pelan dan khidmat
Menyeruak ke dalam paham
Terlalu mudah kami diadu
Dengan kata yang merintih seperti debu
Terlalu besar kita
Terlalu pintar kita
Seharusnya debu tinggal disapu
Seharusnya debu tak perlu melekat
Seharusnya debu tak perlu menjadi viral